Karya-karya Budi Darma dikenal dengan metafora-metaforanya yang membuat pikiran pembacanya. Penikmat sastra yang telah membaca ‘Olenka’, karya Budi Darma yang dianggap paling fenomenal kebanyakan terpukau dengan gambaran tubuh perempuan yang disamakan dengan peta dunia. Tubuh itu bisa diletakkan di meja, atau di atas lemari.
Metafora-metafora yang mengundang banyak arti juga bertebaran di dalam novel kisah Ny Talis ini. Saya mencatat ada metafora yang diwakili oleh debu, tembong (bintik hitam yang ada di tubuh manusia), burung, juga bianglala.
Debu dan Penguasa
Halaman pertama dari novel Ny Talis diisi dengan kutipan kalimat yang diucapkan diktator Italia, Mussolini: “Inilah takdir saya. Dari debu, naik ke kekuasaan. Dan dari kekuasaan, kembali ke debu.”
Namun, Ny Talis tidak berkisah tentang kekuasaan dan penguasa. Novel ini menebar cerita tentang takdir dan kodrat. Beberapa kali Budi Darma menulis kalimat tentang manusia yang tidak dapat memilih takdirnya, termasuk kematian. Juga mengenai kodrat perempuan: menikah dan punya anak.
Perempuan memang memenuhi cerita dalam novel ini. Selain Ny Talis, ada Wiwin dan Santi Wedanti. Ketiganya dihubungkan oleh Madras: bahwa Madras jatuh cinta kepada ketiganya. Bila Madras sedang bersama Santi Wedanti, ia teringat kepada Wiwin. Bila Madras sedang duduk bercakap-cakap dengan Wiwin, ia membayangkan Santi Wedanti. Namun, bayangan tentang Ny Talis selalu mengisi pikiran Madras, ketika ia sedang berada di samping Wiwin maupun Santi.
Kisah ketiga perempuan ini dihadiri oleh keberadaan Madras. Meskipun Madras tidak hadir secara langsung dalam kehidupan Ny Talis, tetapi ia sesekali berkelindan dengan Ny Talis. Baik secara sengaja, maupun dipaksa sengaja. Misalnya ketika Ny Talis dipenjara, Madras mencari tahu apa yang terjadi dengan Ny Talis, dan berusaha membantunya. Dari latar belakang ini, kisah hidup Ny Talis diceritakan oleh Budi Darma.
Kelahiran dan Kematian
Kelahiran dan kematian menjadi benang merah terbesar dalam novel Ny Talis. Bahwa kita lahir sebagai debu, dan meskipun kita telah berhasil naik ke kekuasaan tertinggi, kita akan kembali menjadi debu ketika mati.
Saya berasumsi itulah mengapa Budi Darma menceritakan bahwa Madras tidak bisa ‘hadir’ ketika ibunya dimakamkan, juga ketika ia duduk di sebuah bukit sambil menyaksikan pemakaman. Matanya bisa melihat prosesi itu, tetapi jiwanya tidak. Tidak ada satu pun manusia yang tahu seperti apa dirinya ketika ajalnya menjemput, kapan, di mana, dan dengan cara apa.
“Kita ikuti hukum Maha Pencipta. Percayalah, yang dulu ada, sekarang tidak ada. Yang sekarang ada, kelak tidak ada. Yang sekarang belum ada, kelak akan ada. Demikian pula kita, demikian pula anak turun kita. Hanya Maha Pencipta yang selalu ada.” (lits)